Pembinaan Adiwiyata Mandiri di SDN 3 METRO UTARA

Kamis, 26 Februari 2015

TIM Adiwiyata SMP NEGERI 6 Metro melakukan pembinaan Adiwiyata Mandiri di SDN 3 METRO UTARA

Pembinaan Tertib Lalulintas dari POLRES Metro

Selasa, 24 Februari 2015

Pembinaan

Pembinaan Adiwiyata di SMK Taruna Bumi

Minggu, 22 Februari 2015

Tim Adiwiyata SMP NEGERI 6 Metro melakukan pembinaan Adiwiyata Mandiri di SMK Taruna Bumi

Pembinaan Adiwiyata di SMP Muhammadiyah 3 Metro

Sabtu, 21 Februari 2015

Tim Adiwiyata SMP NEGERI 6 Metro melakukan pembinaan di SMP Muhammadiyah 3 Metro

Penyerahan Piala Hasil Lomba

Selasa, 17 Februari 2015

SMP NEGERI 6 Metro mengikuti lomba dan mendapat piala yang kemudian diserahkan ke Sekolah.

Verifikasi Peserta UN 2015

Jumat, 06 Februari 2015

Pengawas dari Disdikbudpora Kota Metro melakukan verifikasi peserta UN Tahun 2015 pada hari Kamis, 5 Februari 2015 di SMP NEGERI 6 Metro.
Pengawas yang ditugaskan adalah Ibu Lidya dan Ibu Indra.

Sosialisasi Pencegahan Narkoba di Sekolah oleh POLDA Lampung

Kamis, 05 Februari 2015

Untuk mengurangi penyalahgunaan narkoba di sekolah maka POLDA Lampung mengirimkan para Mbak Polwan yang cantik cantik untuk mengajarkan siswa agar tidak tergoda memakai Narkoba

Penyuluhan Narkoba dari BNN Propinsi Lampung

BNN Provinsi Lampung mengadakan penyuluhan tentang penyalahgunaan narkoba ke sekolah sekolah, salah satunya adalah SMP NEGERI 6 Metro

Program Nuwo Budayo Lampung

Siswa SMP NEGERI 6 Metro sedang berlatih Tarian Lampung.
Foto oleh Dwi Widodo


Kunjungan Adiwiyata ke TK Pembina Metro Pusat

Pembinaan ADIWIYATA di TK Pembina Metro Pusat oleh TIM Adiwiyata SMP NEGERI 6 Metro.

Kemuliaan Sang Nenek di Mapolda Jatim

Minggu, 01 Februari 2015

Oleh: Yusron Aminulloh

KALAU Anda sempat berada di markas Kepolosian Daerah Jawa Timur, di jalan A Yani Surabaya. Carilah seorang nenek mulia. Nenek usia 87 tahun itu, dulu, karyawan sipil di Mapolda Jatim, tapi hari hari ini, sang nenek berjualan kue. Ia jam 06.00 – 12.00 berada di sana untuk berjualan kue. Ia, pedagang yang disayang banyak orang, bukan saja karena mantan karyawan di situ, tetapi keteguhan nenek ini, memberi inspirasi banyak orang.

Sebut saja namanya Supartini, Nenek ini menjadi potret ibu sejati, pejuang kehidupan. Bahkan sikap kerja keras. Apalagi kalau kita melihat di jalan raya, banyak ibu-ibu masih muda, tetapi menjadi peminta minta. Tanpa malu, mereka menengadahkan tangan, dan menikmati hari hari hidupnya dengan belas kasihan orang. Meski peminta minta ini, secara ekonomi diam-diam lebih mapan dibanding para pekerja keras lainnya. Namun mereka menihilkan harga dirinya habis habisan.

Maka, membaca profil nenek mulia ini, harusnya menjadi tamparan bagi ibu ibu muda yang tidak mau mengabdikan hidupnya untuk kehidupan. Dalam sebuah dialog, nenek ini masih tangkas menjawab setiap pertanyaan dengan bahasa yang lugas.

“Nenek usia berapa ? Kok masih kerja?”

“87 Tahun nak. Saya masih kuat kok.”

“Bukankah nenek pensiunan karyawan POLRI, dan punya gaji?”

“Ya nak, bahkan gaji saya cukup, karena saya sekolahnya hanya SR, pensiun saya Rp 1,6 juta,”

“Lho nek, bukankah gaji sudah cukup untuk hidup nenek?”

“Ya sangat cukup. Tapi saya kerja bukan semata cari uang, tetapi mencari kegiatan,”

“Kalau sudah tua seperti nenek, mencari kegiatan itu ya ke masjid nek, masak kerja,”

“Wah, kalau ke masjid itu nomor satu. Tetapi kerja ini kan siang dan tidak mengganggu sama sekali ibdah saya. Saya jualan ini biar tidak melamun dan badan menjadi sehat. Kalau pagi saya ikut naik praoto (truk polisi) saat berangkat dan pulang naik angkutan kota. Alhamdulillah nambah sehat.”

Sebuah dialog sederhana dan menarik. Sebuah kesederhanaan, memaknai usia dengan kerja,bukan bicara. Dengan langkah, bukan mengeluh, dengan positif dan tanpa energi negatif sedikitpun. Bahkan, dalam dialog berikutnya menjadi sebuah getaran jiwa.

“Kue yang nenek jual ini membuat apa membeli ke orang nek ?”

“Oh saya tidak membuat, tetapi membeli di tetangga saya .”

“Berapa nenek beli ?

“Rp 4.000,- nak.”

“Lho kok nenek jual Rp 5.000,-. Untungnya kecil. Harusnya nenek jual Rp 6.000,-. Kan nenek perlu transport, dll,”

“Kasihan anak anak (polisi dan karyawan polda, maksudnya). “

“Kenapa kasihan nek ?”

“Ya mereka kan bekerja untuk anak anaknya.Biar uangnya dikumpulkan, bisa untuk anak anaknya sekolah, tidak habis untuk beli kue. Jadi saya cari untung kecil saja, gak apa apa. Sudah cukup.”

Sebuah jawaban menghentakkan hati. Nenek ini bukan memberikan pelajaran kepada kita, betapa tidak hanya memikirkan dirinya, namun juga memikirkan orang lain (konsumenya). Beliau seorang pedagang yang memikirkan anak-anak pelanggannya, memikirkan keluarga orang yang dilayani dengan keikhlasannya.

Saya memberikan tiga catatan atas kisah nyata yang mulia ini.

Pertama, bahwa hidup itu yang penting endingnya. Kemuliaan nenek yang sudah bekerja keras selama 40 tahun, ternyata hari hari senja—saat pensiun—tidak dipakai untuk sekedar diam dan diam diri. Namun ia tetap bekerja, sehingga tidak ada waktu melamun.

Akibat langkahnya setiap hari,  ia pergi jam 06.00 dan pulang jam 12.00 tiap hari dengan jarak jauh, rumanya sekitar Pacarkeling menuju Mapolda A Yani Surabaya—sekitar 16 Km— ia mendapat keberkahan kesehatan. Sementara banyak orang lain, usia 60 hingga 70 tahun, saat pensiun, rasanya hari demi hari berat dijalani karena penyakit yang datang satu persatu.

Kedua, yang dilakukan nenek mulia ini tidak semata mata mencari uang. Tetapi mencari kegiatan. Meski tidak seberapa yang ia dapat setiap hariya, tetapi iamerasa bahagia. Coba lihat dialog diatas. Ia tidak mau mencari keuntungan banyak, karena ia memikirkan konsumennya yang punya anak dan keluarga. Sebuah langkah kongkrit bershadaqah dengan cara yang indah.

Sementara banyak orang yang secara ekonomi cukup. Di saat usia senja, selalu tidak mau berbagi secara ekonomi, karena merasa tidak punya penghasilan lagi. Bahkan, ketika diajak untuk bekerja sosial, mereka enggan juga karena fisik sudah terbatas. Bandingkan dengan nenek usia 87 tahun ini, tentu kita patut malu.

Ketiga, ketika sang nenek ditegur bahwa masa tua adalah untuk ibadah. Dengan tegas nenek ini menjawab bahwa ke masjid adalah nomor satu. Ini artinya, nenek ini boleh dibilang ahli ibadah. Bahkan kesempurnaan ibadahnya diteruskan dengan bekerja dan bekerja.

Dalam bahasa KH A.Mustofa Bisri, langkah nenek ini berangkat bekerja, bukan hanya bekerja. Tetapi itu adalah berdzikir. Ia berdzikir kepada Allah dengan caranya. Yakni bekerja memuliakan orang lain. Ibadahnya menyatu dalam dirinya. Ia tidak memakai teori, namun ia mempraktekkan. Ia menyatukan dirinya dalam keabadian menuju SurgaNya.

Pingin rasanya saya mencium erat erat ibu, nenek dan wanita mulia ini.*

Penulis adalah pendiri MEP Training Cente